Senin, 22 Agustus 2011

Tanggapan untuk The Mirror Never Lies

Seperti sebuah tulisan, usai ditulis, akan menjadi milik pembacanya. Pembaca berhak untuk menyebut tulisan ini bagus memikat atau tulisan itu buruk menjenuhkan. Itulah yang berlaku pada film, film apapun itu.
Film, tentu punya nilai lebih dibanding tulisan, leluasa suguhkan citra visual, membantu penonton agar mudah mengerti. Adegan, pesan dari film diharap dapat berpindah sebagai pesan yang dimengerti penonton.
Namun tak sedikit, tampilan visual dan dialog, menjadi penghambat, menyulitkan, sehingga berpotensi disalahmengerti atau bahkan tak dimengerti sama sekali oleh para penonton.
Kekuatan film terletak dari kemampuan membuat penonton paham apa misi/ pesan yang diusung . Bukan film, yang membuat penonton ‘tersiksa’ oleh rantai kerumitan demi kerumitan, disengaja atau tidak? Film yang bagus ialah film yang dengan sadar ‘menyeret’ penonton agar terlibat, mengalami, tidak lebay, arah cerita simpel dan tentu saja menghibur. Setidaknya demikian menurut saya yang awam ini.
Saya tidak tahu apa kesan anda setelah menyaksikan film the Mirror Never Lies besutan sutradara Kamila Andini, film ini diproduseri oleh Wwf-Indonesia, Pemda Kabupaten Wakatobi, Asaf Antariksa, Anastasia Rina, Wiwid Setya, Gita Fara, Garin Nugroho, Nadine Chandrawinata, mengangkat kisah anak perempuan suku bajo yang bermukim di kawasan wakatobi.
Tersebutlah, seorang anak perempuan, siang malam berharap, menanti sang ayah yang tak kunjung kembali setelah melaut. Tak berpuas dengan menanti, si anak pun minta bantuan ‘orang pintar’ yang menunjukkan cara alternatif, menelusuri keberadaan ayah lewat cermin.
Kurang lebih seperti itu, di sela-sela pertunjukkan  diselipkan pesan pentingnya merawat kelestarian laut. Saya tertegun oleh penjelasan singkat bahwa suku Bajo tidak seperti orang kota di Jakarta sana, yang membangun rimba beton, dan menghabiskan peluang hidup makhluk lain untuk sama-sama memanfaatkan tanah dan air, beda dengan suku Bajo yang membangun rumah di atas air. Dan dengan begitu makhluk lain masih leluasa untuk hidup dan berkembang, di bawah rumah mereka. Luar biasa bijak, cara saudara kita suku Bajo memaknai hidup, sekiranya saja para pemimpin negeri bersedia belajar kearifan dari suku Bajo, mungkin wajah negeri kita akan lebih sejuk dan menawan.
Saya juga tersentuh kala tokoh utama (Pakis), berujar pada kawan sepermainannya Lumo, bahwa yang terpenting dari sebuah rumah adalah ada ayah, ibu dan anak. Penghuni yang utuh lebih berharga dari apapun. Kira-kira seperti itu.
Sejak awal berniat menonton film, saya akui bila saya terjebak pada euforia bahwa karena Wakatobi itu eksotis dan menawan, maka segala karya apapun yang ‘berbau’ wakatobi sedikit banyak akan tertular oleh keindahannya. Tapi saya harus mengalah dengan harapan itu, ketika menyaksikan film ini, ada sejenis kerumitan berkecamuk dalam benak saya dan barangkali pula penonton yang lain? Dalam mencerna jalan cerita dan pesan yang dihamparkan.
Sejak menit pertama hingga sekitar beberapa puluh menit kemudian, ada kehangatan, kesegaran cerita, konflik yang memancing ingin tahu, namun entah apa alasan dan motivasi,  sehingga konflik yang telah terbangun dibiarkan mengambang, tak berhenti dengan kedalaman atau tak berakhir memesona seperti terpukaunya kita pada keindahan bawah laut Wakatobi. Film ini kemudian berdiam diri, seperti kebanyakan film Indonesia yang lain: mudah ditebak, dingin dan pada beberapa adegan terkesan dipaksakan. Sementara bila dibiarkan mengalir senatural mungkin, besar kemungkinan memiliki efek ledak dalam mengaduk-aduk emosi penonton.
Sebagai catatan, setidaknya ada beberapa adegan yang “mengganggu”, misal adegan mengintip orang mandi yang dilakukan oleh anak perempuan terhadap lelaki dewasa yang menjadi tamu di rumah mereka, menjadi sisi yang kurang ‘nyambung’, apa relevansinya dengan tema cerita?? Bahkan itu bisa ditafsirkan berbeda bahwa; oh apa iya ada kebiasaan seperti itu di komunitas suku tertentu di Wakatobi? Saya rindu untuk bertanya pada penulis dan sutradara film ini, bukan saja sebagai penonton, namun lebih karena sebagai orang Wakatobi, kebiasaan mengintip adalah perbuatan yang dilarang dan dikutuk, apatah lagi dilakukan oleh anak perempuan. Itu yang pertama. Yang kedua, kisah ketertarikan/ hubungan khusus antara peneliti Lumba-lumba dengan perempuan bajo (seorang wanita yang telah menikah, walaupun kemudian keberadaan suaminya masih belum jelas) menjadi sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan di lapangan, betapa dalam prakteknya para perempuan wakatobi merupakan sosok setia kepada suaminya, lihatlah bahkan di kampung-kampung itu, para isteri tetap tabah menunggu suaminya yang berangkat merantau bahkan hingga waktu yang tidak bisa dipastikan.
Sehingga barangkali benar anggapan bahwa para pembuat film tidak maksimal dalam mengeksplorasi Wakatobi, penduduk dan budaya yang hidup berkembang di seputaran mereka.
Film ini menurut saya, akan lebih memikat manakala menyuguhkan kisah yang tak datar dan gampang terbaca, dengan ending yang betul lain daripada yang lain, misalnya saja, mengapa tidak disetting bahwa ternyata ayah Pakis belum meninggal, namun terdampar ke tanah seberang seperti Australia misalnya, karena memang peristiwa terseretnya nelayan kita hingga ke teritorial laut Australia sudah sering terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka. Atau mengapa tidak diperlihatkan apa efek negatif dari kebiasaan yang merusak lingkungan, misalnya mencari ikan dengan bom?
Juga tidak ada tampilan singkat mengenai keberadaan/ keindahan  pulau-pulau di Wakatobi, yang ada hanya sumber air tawar yang tidak jernih, tempat Pakis dan Lumo mengambil air bersih, sementara nyatanya di Wakatobi ada beberapa titik sumber air yang lebih jernih dari tempat yang ditampilkan dalam film.
Terlebih lagi ketika, adegan “pertengkaran” antara ibu dan anak terjadi beberapa kali, sosok ibu tak bersahabat dengan anaknya, saling membentak. Tak menarik, membosankan. Demikian pula kehadiran guru di sekolah, tak diberi kesempatan untuk menjadi penengah konflik, guru hanya hadir sekilas seperti angin, tak berbekas. Ketika Pakis tertidur dalam kelas, si guru malah mengusir agar Pakis keluar dari kelas. Saya bingung, apa pesan yang hendak disampaikan pada penonton?
Atau di akhir cerita, Pakis mengumpulkan semua cermin, diam-diam dari rumah penduduk, lalu digantung juluran cabang/ ranting pohon. Kilat cahaya matahari berpantulan dari wajah cermin. Pakis mengenakan gaun putih (gaun penuh kenangan, peninggalan dari kekasih si peneliti lumba-lumba), di atas sebuah bukit berlatar laut biru dan ujung pulau yang menjorok, Pakis melakukan ritual mencari jawaban dari cermin. Inilah akhir yang mengganggu jalan cerita, saya bingung. Nampak ada kesan si anak sedang mengalami sesuatu yang menghawatirkan..., tapi tetap saja dibuat-buat. Sungguh sebagai penonton, saya melihat film ini akan lebih bertenaga bila dibiarkan mengambil adegan yang wajar-wajar saja, sederhana khas keseharian anak-anak suku Bajo di Wakatobi.
Tetapi terlepas dari itu, kita menemukan betapa Suku Bajo memiliki kearifan lokal, punya cara pandang manusiawi dalam berinteraksi dengan lingkungan, tempat tumbuh dan berkembang. Walau hasrat hati ingin mengajukan banyak pertanyaan, namun tetap saja kita mesti berterima kasih dan menyampaikan penghargaan atas kerja keras Sutradara dan segenap kru film yang telah berjuang untuk mempromosikan Wakatobi, memberi kesempatan seluas-luasnya pada publik tanah air untuk menikmati keindahan laut Wakatobi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar