Perempuan, nyawa peradaban. |
Beberapa kali saya menyaksikan langsung perempuan melahirkan. Semua perempuan itu, terang-terangan atau tidak tampak bersepakat pada sebentuk rasa sakit yang entah bagaimana dideskripsikan. Tiada pernah seorang perempuan mampu menetapkan satu bentuk penjelasan informatif guna menerangkan peristiwa bersalin.
Sebagian tentu setuju bahwa bersalin adalah pengalaman menegangkan dan bagi sebagian yang lain bisa menjadi momen yang tak selalu dapat dibahasakan secara fasih, sehingga dapat dimengerti oleh perempuan lain yang belum pernah melahirkan atau minimal dapat membantu rasa ingin tahu lelaki yang bertanya tentang apa yang sesungguhnya perempuan rasakan. Saya yang melihat mereka berjuang berdarah-darah melahirkan, merasakan sebuah pengalaman menakjubkan, betapa kehadiran manusia di muka bumi adalah momen yang paling ajaib dan luar biasa.
Nyeri melahirkan (sebagaimana halnya rasa sakit yang lain) ialah sebuah pengalaman personal yang menarik perhatian dan belum sanggup dijelaskan sedetail mungkin, sebab hingga sekarang umat manusia belum mampu menemukan satu alat ukur obyektif dalam menakar kadar dari rasa sakit. Rasa sakit sedikit banyaknya masih menyisakan misteri bagi ilmu pengetahuan.
Seorang ibu berkata lebih memilih bacokan pedang berkali-kali ketimbang rasa nyeri yang dahsyat ini, sebagian lagi memakai perumpamaan, irisan silet lebih ringan tak berarti apa-apa dibanding nyeri bersalin. Variasi ekspresi tubuh, erangan dan keluhan mereka beragam, perih yang tertahan, menjerit, bergumam tanpa arti jelas, bahkan tak jarang berteriak-teriak hingga terdengar ke jalan raya.
Cara perempuan berdamai dengan rasa sakit memang luar biasa, karena kemudian terbukti bahwa mereka sanggup melahirkan anak yang dikandung, jalan lahir mengalami proses ‘pelebaran’ yang mengagumkan dan mekanisme lain yang menunjukkan kebesaran Tuhan. Kuasa Tuhan bekerja dalam setiap proses persalinan.
Lalu mengapa harus perempuan yang berkesempatan mengandung dan melahirkan? Kaum lelaki hanya menduga saja, pertama karena perempuan lebih kuat menahan rasa sakit dan penderitaan, bayangkan saja ketika sedang mengandung, serangkaian perubahan anatomi fisiologis berlangsung pada tubuh mereka, pada mental mereka.
Kedua, perempuan lebih sanggup beradaptasi pada “tuntutan” tertentu, seiring perut yang kian membesar, maka perempuan hamil semakin diharuskan untuk ‘berhati-hati’ agar tidak terjadi sesuatu yang membahayakan janin yang dikandung. Segala tutur kata, sikap dan perilaku betul-betul sedang dididik agar cenderung pada nilai-nilai yang mulia dengan harapan segala kemuliaan tadi akan menurun pada sang anak kelak.
Ketiga perempuan lebih sanggup membumikan rasa kasih sayang, sebagai contoh, wujud kecintaan ibu terhadap anaknya tak mampu digantikan oleh kalimat manapun. Perempuan memang nyawa peradaban manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar