Seberapa kuat pengendalian diri kita ? |
Puasa kita boleh jadi gagal menjumpai targetnya, itu bila mengamati fenomena belanja besar-besaran kaum muslimin. Kebiasaan membeli beragam benda terasa semakin menjadi di bulan Ramadhan, padahal pesan puasa bertutur pentingnya pengendalian diri.
Mari pake kacamata sempit saja, mengintip perilaku konsumtif umat. Keutamaan mengamati fenomena dengan cara mengintip, belajar dari model penemuan pengetahuan seperti yang dilakukan para ilmuwan lewat lensa mikroskop ukuran sekian inchi itu, yang dapat dipakai mengamati elemen terkecil dalam tubuh manusia lewat ruang pandang yang dibatasi.
Lewat lensa mikroskop yang kecil, kita menemukan fakta betapa luas dan besarnya dunia mikro di bawah kita, yang dahulu kita sangkakan kecil dan sempit. Kriteria kecil atau sempit memang subyektif terserah pada titik mana engkau berpijak.
Puasa, kalau boleh diibaratkan, seumpama pintu masuk yang ‘sempit’, menuju keluasan cara pandang dalam penentuan semesta pilihan. Pintu masuk yang mengandung tak berhingga energi hikmah. Dengan puasa semestinya kesadaran kita kian memuncak, bukan terjebak dan mengikat diri dalam jerat keinginan yang rendah. Bahwa dengan bantuan puasa, kita tak kunjung sanggup berubah, berarti ada yang keliru; kekeliruan pertama bisa karena cara pandang yang salah dari individu tertentu atau memang belum ada kesungguhan untuk berubah.
Manusia punya kesempatan besar untuk memilih respon atas stimulus yang menuju padanya. Stimulus boleh saja sama, namun respon belum tentu seragam. Kekhasan tiap individu terutama sekali terlihat dari corak respon yang diperlihatkan, kedewasaan pun demikian, semakin berdamai kita dengan fitrah kita sebagai manusia yang hidup ‘secukupnya’ maka kian matanglah kita. Contoh kebutuhan makan, sekali makan barangkali cuma sepiring dua piring dengan harga terjangkau, namun tatkala keinginan dipertuan, tunggulah bergunung-gunung kekayaan pun takkan sanggup memuaskan dahaga dan lapar kita.
Teringat pesan khutbah para guru agama bahwa puasa melatih kesabaran, sarana bagi jiwa saling menghadiahkan maaf bagi sesama, berderma sesanggupnya dan tidak berlebih-lebihan. Puasa, sebentuk jalan untuk menelisik ‘jejak’ Ilahi dalam diri, bahwa jalan menuju Tuhan salah satunya ialah dengan berkhidmat pada kemanusiaan, pada sesiapa yang memerlukan hadirmu.
Tentu hak setiap orang, membelanjakan duit yang diperoleh dengan susah payah (hasil kerja keras, uang THR atau hasil mengutang pada tetangga), duit tadi dialokasikan pada kegiatan konsumtif yang mengandung unsur berlebih-lebihan. Memang kita tak bisa memukul rata bahwa setiap yang berbelanja itu sudah pasti berniat pamer, selain karena memang pakaian adalah kebutuhan pokok juga karena premis yang diajukan belum utuh. Bijaklah dalam menyorot aktifitas berbelanja.
Hanya apakah setiap lebaran harus disambut dengan baju baru? Membeli baju baru tadi sebenarnya pemenuhan kebutuhan atau pemanjaan keinginan?
Tapi sudahlah, saya mengambil sampel terbatas, dengan mewawancarai sejumlah orang di lingkungan yang juga terbatas. Terlihat indikasi bahwa anak-anak dan kaum wanita cenderung tergerak (atau dipaksa/ dibujuk agar bergerak?) berburu pakaian baru di mall mewah atau pasar biasa. Pakaian yang dikenakan oleh artis tertentu jadi panduan model yang diidamkan. Para wanita mencari pakaian model terkini walau harus berkeliling satu pasar seharian penuh, padahal boleh jadi sebelumnya mereka telah mempunyai baju baru nan cantik atau pakaian yang baru sekali atau dua kali dikenakan.
Mengapa rasa kurang itu selalu menghinggapi kita di saat lebaran hampir tiba? Dimana esensi puasa, menahan diri dari tarikan keinginan. Setiap tahun puasa menggembleng umat namun hanya sedikit yang keluar sebagai pemenang dengan memegang kuasa atas dirinya, atas keinginannya.
Sebagai otokritik, puasa seyogyanya ‘mendaur ulang’ kita sebagai individu baru yang lengkap dengan modal insaniah, punya life skill; keterampilan menata hidup dengan cerdas dan proporsional, termasuk di dalamnya, kesediaan untuk menunda kesenangan, membatasi diri, tidak melenakan diri sendiri dengan membeli sesuatu yang sebenarnya tidak wajib untuk diadakan. Bukankah tak ada kewajiban ketat bagi umat ini untuk membeli baju baru, bahwa kalau engkau tak membeli baju baru maka kamu akan berdosa...Tak sekalipun saya mendengar ajaran seperti itu.
Jika momentum puasa hanya menjelmakan kita sebagai pribadi yang haus belanja, berburu pakaian baru, menghidangkan makanan enak-enak diluar kesanggupan ekonomi kita, lalu apa gunanya puasa?
Puasa dan lebaran sekali lagi tak berarti baju baru, kue-kue, kuah daging atau ayam berbumbu apalagi hasrat belanja yang semakin liar. Puasa adalah jalan bagi jiwa untuk memerdekakan diri dari tarikan nafsu dan keinginan-keinginan sempit....
Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar