Senin, 23 Juli 2018

bali

harum dupa, segar kembang,
dan engkau percaya pada semua
bali tak cukup sebagai tujuan..
bali itu rindu

sejak engkau mengenali waktu,
adakah yang seringan rindu,
menguap penuhi langit sadarmu
sejak kau berkata-kata
adakah yang serimbun rindu,
meluap sebagai senyum dari doa-doa ibu

malam selalu setia,
melesat serupa mantra
ketika ingatan dan kenangan
jelma setapak pada cahaya

engkau tak bisa pergi, selalu kembali
karena bali, penuh di dirimu
                     
                      (suatu ketika,skill lab lt.4)     

Selasa, 20 Maret 2018

engkau

kapan engkau ajak aku ke jembatan itu ?
di ujung kampung rimbun bakau,
kepiting dan ikan ikan genit lincah matamu, 
benamkan ingatan
kita berdua saja katamu, 
jangan dulu sebut paris, amsterdam, venesia
gambar gambar selfie pasangan
seperti virus
berbiak tak terhingga 
sesak dalam smartphone-mu

engkau hanya ingin aku
di jembatan  laut
antara lowu lowu dan liwuto
romantis katamu; seperti bibir pantai 
ditampar tampar arus teluk baubau
beginilah rindu paling duri
tak ingin kucabut, biar rasanya abadi







Minggu, 04 Desember 2016

Pagi

pagi, uap secangkir melati menari
bersama aroma teh gunung
uap yang sama tercium dari pucuk bukit di tepi kampung, dari senyum gadis desa
rambut digerai lepas serupa nyiur
dihempas angin laut
pagi, ingatan jauh
ketika kabut baru menggumpal
melayang semangat anak muda
setelah usai tuntaskan novel pergerakan
sebuah berita,
bahwa keberanian,
kehangatan matari pagi,
menanjak menua ke titik tertinggi
sebelum meluncur jadi senja memerah saga
pagi, adakah indah selain saat ini, disini..

Senin, 02 Mei 2016

hujan di wantiro

rindu seperti hujan di hutan,
jika rintik, jika menderas
tanah bumi tak menolak

rindu persis embun basah
merembes di pori wajah
lahir pada detik paling purba
kekal
menjelma segala

percuma kau tanya apa itu rindu
segala soalan yg kau ajukan ihwal rindu
ialah gemuruh; lapis lapis gelora
gelombang maha gelombang

sore ini, kau pandanglah saja tulus wajah bocah dalam gendongan ibunya,
berteduh di kedai pisang goreng bukit wantiro

rindu seperti hujan di hutan
jika rintik, jika menderas
seluruh rasa jelma segala



Kamis, 09 April 2015

Tuangila

jalan ke puncakmu berlekuk seperti pinggul gadis muda,
mulus, memikat, begitu impresif
seruas aspal licin membelah hutan seakan sisir plastik ratakan rambut anak sekolah
di sisi kanan jurang sedalam tiga pohon kelapa bersusun

aku menepi, rapat pada sejuntai akar
di tengah sepinya hutan
setiap rasa tenggelam sudah
pada kabut melayang, kita belajar mencari tanda,
telah berapa masa pepohon menjulang ?
apakah selama humus masih suburkan tanah ?
atau sekuat petani membakar dupa, putihkan udara dengan lirih dan doa doa

oh tuangila
ada pesan kitab suci
tentang surga dengan sungai sungai yang mengalir di bawahnya
tentang bebuahan yang bisa kau petik semau inginmu

oh tuangila
di segar dinginnya jalan menujumu
ingatku satu saja, sekeping uang logam keluaran 1978
pada sebelah sisi tercetak : "hutan untuk kesejahteraan"
hutan dan uang koin ialah prasasti zaman
keduanya hendak melestari, abadi laksana kepurbaan candi tanah jawa

beratus tahun silam, di gelap birunya laut
tampak armada dagang asing,
boleh saja itu portugis, inggris atau voc belanda
jelas dari atas bukit hijau
tiang kapal layar melancip sebagai siluet, menyusur tepi tanah ini
sebuah tembakan meledak dari perut meriam, robek keheningan pagi

oh tuangila
aku mengenang tetua tanah butuni, kharisma siolimbona
dan segala parabela  dari negeri negeri keramat
berdiri penuh takzim dalam persaksian sumanga leluhur ;
di seputar batu popaua benteng keraton wolio
mereka melantik paduka sultan buton

oh tuangila
di hutan tropis ini, kagumku tak juga selesai

Kamis, 02 April 2015

pada tuangila

berapa kilometer sudah meluncur dari speedometer,
ban meroda di pipi aspal,
pada sepohon ingatan
hati kita tersegar kabut
meruap antara bukit asri, wakuli, tumada hingga todanga
berapa kilometer sudah
kita melupakan waktu, menanam detik pada bau hutan selepas hujan
jalan menanjak pada kehangatan tuangila
memahat sebentuk pengertian
tanah ini, bukit ini, telah tua oleh kerinduan, oleh kasih yang mengalir
setegak batang wola, jati, dan segala suara burung dari pekatnya lambusango
serupa suara daun bakau di bibir teluk kapontori
sepanjang sore di dermaga kapontori
seusai pagi dan siang,
angin dan ketulusan terus menjalar
pada sewajah musik, senyum dan seikat kenangan...

Rabu, 02 Oktober 2013

Kotamara (satu)

kata dalam puisi ialah ikan ikan di selat Buton, tak mungkin habis
lahir, banyak dan menggelisahkan.
seribu jala ditebar mengikat gundah, keriangan tak berujung,
sebongkah khawatir melayang dari bukit batu,
kata dalam puisi yaitu pemberontakan cinta
kekasih mabuk dari cawan rindu
menetes dari liang rahasia, tempat beringin teduh tua dan aliran angin,
engkau membatu dalam tapa purba,
mengandung beribu buku, mengeram waktu setandus tandusnya
engkau pemilik bukit, ketika hati dan senyum
jelma nada paling asing sepanjang lorong ini,
engkau berdarah
melempar senyum sekuat puisi !

Kotamara

dirimu semisterius semesta
belukar impuls loncat di benak, kau tangkap seketika


karna puisi serupa jalan jalan kecil
saban sore diziarahi pejalan, remaja pacaran atau pasangan tua, menghisap hari di kotamara

kotamara,
tanah lapang tempat cinta dan keringat menjadi kerak yang melapis tegel sepanjang setapak
seluruh tubuh dan bulu mu basah, hatimu juga basah
tapi matamu tidak,
yang enggan basah pada kagum sejenak

karna kulitmu selapis debu
maka tak putus putus doa dan himne bersalto di udara
berlomba suara azan
sayup melengking dari ponsel cina di tangan penjual air mineral
modernisasi menimbun semua yang lampau
menerkam segala karat kuno, picik
dan terutama sekali,
modernisasi akan ditulis oleh mereka yang tak banyak ribut dengan suara,
tapi bekerja dalam hening,
seperti otakmu,
diam dalam bunyi,
namun ribut menggerakan bibir, kaki, tangan dan semua

Jumat, 22 Februari 2013

Merak

di bangku kayu, properti kakek penjual roti, rokok ketengan dan kopi panas dari termos palstik yang pudar menua seperti sang kakek,
debu pekat serupa asap bus bus raksasa, berat berton ton menindih aspal,
tangki pengangkut elpiji 15.000 kg bolak balik beratus kali dalam sehari
aku jadi ingat sampan kecil di kali Baubau, meluncur naik turun dari muara ke mata air paling ujung di wedete, muatan penuh pasir, batu bata dan daun rumbia basah.
di bangku kayu dekat si kakek yang batuknya berdahak, tak habis 5 menit sampai jua engkau ke pelabuhan Merak, tempat sandar feri ke Lampung.
di Merak, perempuan bekerja seperti roda berputar tak henti henti hingga malam tergelap,
jangan cari lelaki, mereka memencar laron, keringatnya menjadi mutiara, gerimis di jalan, trotoar dan kantor kantor.
Merak itu pesisir di zaman Indonesia merdeka, bukan zaman Demak, Makassar atau Batavia tempo dulu,
bebannya teramat berat, menghajarnya hingga harus terus bersolek berbedak,
di sini, ada penjual gorengan, dokter 24 jam, salon, losmen melati dan kehangatan, entah berapa tarifnya,
hingga pukul 1 malam, pintu tertutup, kipas memberat oleh daki, daun nyiur dipeluk angin basah dari puncak Krakatau,
klakson bus lintas Sumatera menggertak sepiku karenamu...
(19-02-13)

Kamis, 10 Januari 2013

perempuan pemikul keringat

perempuan memikul sekantung keringat
telah berpuluh ratus dijunjung di puncak kepala
setiap pagi, keringat keringat disetor ke majikan
taburi mesin, engsel pintu, langit langit cahaya
jadi pelumas, pendingin, penerang
di sini,
air dari kelopakmu tak boleh tetes apalagi tumpah
ubah alurnya, agar hanya keringat, yang mengalir
air dari kelopakmu harus hadir, tumbuh, bernama keringat
di sini,
air mata ialah berikat ikat jarum halus,
perih tertancap di hati, lambung dan ususmu
pagi tadi,
aku berjumpa barisan perempuan pemikul keringat
datang menemui majikannya
belilah keringatku ini ujarnya..
dengan nada setengah memaksa
mereka berderet dalam seragam kerja, model rambut sejenis dan kata kata yang berbunyi sama
lewat ruas mata, aku hirup suasana
keringat menguap sebagai matahari
sebagai mata hati
hanya di sini...
(purwakarta, 10/01/2013)