jalan ke puncakmu berlekuk seperti pinggul gadis muda,
mulus, memikat, begitu impresif
seruas aspal licin membelah hutan seakan sisir plastik ratakan rambut anak sekolah
di sisi kanan jurang sedalam tiga pohon kelapa bersusun
aku menepi, rapat pada sejuntai akar
di tengah sepinya hutan
setiap rasa tenggelam sudah
pada kabut melayang, kita belajar mencari tanda,
telah berapa masa pepohon menjulang ?
apakah selama humus masih suburkan tanah ?
atau sekuat petani membakar dupa, putihkan udara dengan lirih dan doa doa
oh tuangila
ada pesan kitab suci
tentang surga dengan sungai sungai yang mengalir di bawahnya
tentang bebuahan yang bisa kau petik semau inginmu
oh tuangila
di segar dinginnya jalan menujumu
ingatku satu saja, sekeping uang logam keluaran 1978
pada sebelah sisi tercetak : "hutan untuk kesejahteraan"
hutan dan uang koin ialah prasasti zaman
keduanya hendak melestari, abadi laksana kepurbaan candi tanah jawa
beratus tahun silam, di gelap birunya laut
tampak armada dagang asing,
boleh saja itu portugis, inggris atau voc belanda
jelas dari atas bukit hijau
tiang kapal layar melancip sebagai siluet, menyusur tepi tanah ini
sebuah tembakan meledak dari perut meriam, robek keheningan pagi
oh tuangila
aku mengenang tetua tanah butuni, kharisma siolimbona
dan segala parabela dari negeri negeri keramat
berdiri penuh takzim dalam persaksian sumanga leluhur ;
di seputar batu popaua benteng keraton wolio
mereka melantik paduka sultan buton
oh tuangila
di hutan tropis ini, kagumku tak juga selesai