Jumat, 22 Februari 2013

Merak

di bangku kayu, properti kakek penjual roti, rokok ketengan dan kopi panas dari termos palstik yang pudar menua seperti sang kakek,
debu pekat serupa asap bus bus raksasa, berat berton ton menindih aspal,
tangki pengangkut elpiji 15.000 kg bolak balik beratus kali dalam sehari
aku jadi ingat sampan kecil di kali Baubau, meluncur naik turun dari muara ke mata air paling ujung di wedete, muatan penuh pasir, batu bata dan daun rumbia basah.
di bangku kayu dekat si kakek yang batuknya berdahak, tak habis 5 menit sampai jua engkau ke pelabuhan Merak, tempat sandar feri ke Lampung.
di Merak, perempuan bekerja seperti roda berputar tak henti henti hingga malam tergelap,
jangan cari lelaki, mereka memencar laron, keringatnya menjadi mutiara, gerimis di jalan, trotoar dan kantor kantor.
Merak itu pesisir di zaman Indonesia merdeka, bukan zaman Demak, Makassar atau Batavia tempo dulu,
bebannya teramat berat, menghajarnya hingga harus terus bersolek berbedak,
di sini, ada penjual gorengan, dokter 24 jam, salon, losmen melati dan kehangatan, entah berapa tarifnya,
hingga pukul 1 malam, pintu tertutup, kipas memberat oleh daki, daun nyiur dipeluk angin basah dari puncak Krakatau,
klakson bus lintas Sumatera menggertak sepiku karenamu...
(19-02-13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar