kata dalam puisi ialah ikan ikan di selat Buton, tak mungkin habis
lahir, banyak dan menggelisahkan.
seribu jala ditebar mengikat gundah, keriangan tak berujung,
sebongkah khawatir melayang dari bukit batu,
kata dalam puisi yaitu pemberontakan cinta
kekasih mabuk dari cawan rindu
menetes dari liang rahasia, tempat beringin teduh tua dan aliran angin,
engkau membatu dalam tapa purba,
mengandung beribu buku, mengeram waktu setandus tandusnya
engkau pemilik bukit, ketika hati dan senyum
jelma nada paling asing sepanjang lorong ini,
engkau berdarah
melempar senyum sekuat puisi !
Rabu, 02 Oktober 2013
Kotamara
dirimu semisterius semesta
belukar impuls loncat di benak, kau tangkap seketika
karna puisi serupa jalan jalan kecil
saban sore diziarahi pejalan, remaja pacaran atau pasangan tua, menghisap hari di kotamara
kotamara,
tanah lapang tempat cinta dan keringat menjadi kerak yang melapis tegel sepanjang setapak
seluruh tubuh dan bulu mu basah, hatimu juga basah
tapi matamu tidak,
yang enggan basah pada kagum sejenak
karna kulitmu selapis debu
maka tak putus putus doa dan himne bersalto di udara
berlomba suara azan
sayup melengking dari ponsel cina di tangan penjual air mineral
modernisasi menimbun semua yang lampau
menerkam segala karat kuno, picik
dan terutama sekali,
modernisasi akan ditulis oleh mereka yang tak banyak ribut dengan suara,
tapi bekerja dalam hening,
seperti otakmu,
diam dalam bunyi,
namun ribut menggerakan bibir, kaki, tangan dan semua
belukar impuls loncat di benak, kau tangkap seketika
karna puisi serupa jalan jalan kecil
saban sore diziarahi pejalan, remaja pacaran atau pasangan tua, menghisap hari di kotamara
kotamara,
tanah lapang tempat cinta dan keringat menjadi kerak yang melapis tegel sepanjang setapak
seluruh tubuh dan bulu mu basah, hatimu juga basah
tapi matamu tidak,
yang enggan basah pada kagum sejenak
karna kulitmu selapis debu
maka tak putus putus doa dan himne bersalto di udara
berlomba suara azan
sayup melengking dari ponsel cina di tangan penjual air mineral
modernisasi menimbun semua yang lampau
menerkam segala karat kuno, picik
dan terutama sekali,
modernisasi akan ditulis oleh mereka yang tak banyak ribut dengan suara,
tapi bekerja dalam hening,
seperti otakmu,
diam dalam bunyi,
namun ribut menggerakan bibir, kaki, tangan dan semua
Jumat, 22 Februari 2013
Merak
di bangku kayu, properti kakek penjual roti, rokok ketengan dan kopi panas dari termos palstik yang pudar menua seperti sang kakek,
debu pekat serupa asap bus bus raksasa, berat berton ton menindih aspal,
tangki pengangkut elpiji 15.000 kg bolak balik beratus kali dalam sehari
aku jadi ingat sampan kecil di kali Baubau, meluncur naik turun dari muara ke mata air paling ujung di wedete, muatan penuh pasir, batu bata dan daun rumbia basah.
di bangku kayu dekat si kakek yang batuknya berdahak, tak habis 5 menit sampai jua engkau ke pelabuhan Merak, tempat sandar feri ke Lampung.
di Merak, perempuan bekerja seperti roda berputar tak henti henti hingga malam tergelap,
jangan cari lelaki, mereka memencar laron, keringatnya menjadi mutiara, gerimis di jalan, trotoar dan kantor kantor.
Merak itu pesisir di zaman Indonesia merdeka, bukan zaman Demak, Makassar atau Batavia tempo dulu,
bebannya teramat berat, menghajarnya hingga harus terus bersolek berbedak,
di sini, ada penjual gorengan, dokter 24 jam, salon, losmen melati dan kehangatan, entah berapa tarifnya,
hingga pukul 1 malam, pintu tertutup, kipas memberat oleh daki, daun nyiur dipeluk angin basah dari puncak Krakatau,
klakson bus lintas Sumatera menggertak sepiku karenamu...
(19-02-13)
debu pekat serupa asap bus bus raksasa, berat berton ton menindih aspal,
tangki pengangkut elpiji 15.000 kg bolak balik beratus kali dalam sehari
aku jadi ingat sampan kecil di kali Baubau, meluncur naik turun dari muara ke mata air paling ujung di wedete, muatan penuh pasir, batu bata dan daun rumbia basah.
di bangku kayu dekat si kakek yang batuknya berdahak, tak habis 5 menit sampai jua engkau ke pelabuhan Merak, tempat sandar feri ke Lampung.
di Merak, perempuan bekerja seperti roda berputar tak henti henti hingga malam tergelap,
jangan cari lelaki, mereka memencar laron, keringatnya menjadi mutiara, gerimis di jalan, trotoar dan kantor kantor.
Merak itu pesisir di zaman Indonesia merdeka, bukan zaman Demak, Makassar atau Batavia tempo dulu,
bebannya teramat berat, menghajarnya hingga harus terus bersolek berbedak,
di sini, ada penjual gorengan, dokter 24 jam, salon, losmen melati dan kehangatan, entah berapa tarifnya,
hingga pukul 1 malam, pintu tertutup, kipas memberat oleh daki, daun nyiur dipeluk angin basah dari puncak Krakatau,
klakson bus lintas Sumatera menggertak sepiku karenamu...
(19-02-13)
Kamis, 10 Januari 2013
perempuan pemikul keringat
perempuan memikul sekantung keringat
telah berpuluh ratus dijunjung di puncak kepala
setiap pagi, keringat keringat disetor ke majikan
taburi mesin, engsel pintu, langit langit cahaya
jadi pelumas, pendingin, penerang
di sini,
air dari kelopakmu tak boleh tetes apalagi tumpah
ubah alurnya, agar hanya keringat, yang mengalir
air dari kelopakmu harus hadir, tumbuh, bernama keringat
di sini,
air mata ialah berikat ikat jarum halus,
perih tertancap di hati, lambung dan ususmu
pagi tadi,
aku berjumpa barisan perempuan pemikul keringat
datang menemui majikannya
belilah keringatku ini ujarnya..
dengan nada setengah memaksa
mereka berderet dalam seragam kerja, model rambut sejenis dan kata kata yang berbunyi sama
lewat ruas mata, aku hirup suasana
keringat menguap sebagai matahari
sebagai mata hati
hanya di sini...
(purwakarta, 10/01/2013)
telah berpuluh ratus dijunjung di puncak kepala
setiap pagi, keringat keringat disetor ke majikan
taburi mesin, engsel pintu, langit langit cahaya
jadi pelumas, pendingin, penerang
di sini,
air dari kelopakmu tak boleh tetes apalagi tumpah
ubah alurnya, agar hanya keringat, yang mengalir
air dari kelopakmu harus hadir, tumbuh, bernama keringat
di sini,
air mata ialah berikat ikat jarum halus,
perih tertancap di hati, lambung dan ususmu
pagi tadi,
aku berjumpa barisan perempuan pemikul keringat
datang menemui majikannya
belilah keringatku ini ujarnya..
dengan nada setengah memaksa
mereka berderet dalam seragam kerja, model rambut sejenis dan kata kata yang berbunyi sama
lewat ruas mata, aku hirup suasana
keringat menguap sebagai matahari
sebagai mata hati
hanya di sini...
(purwakarta, 10/01/2013)
Langganan:
Postingan (Atom)