tepat pukul
12:15 aku duduk di kursi H1 twenty one
ku tak kuasa
berita kiri kanan genit menggoda
cerita Habibie
Ainun, lelaki yang singkat waktu jadi presiden negeri
berderet apresiasi
dan tanya untuknya ketika berkuasa,
aku tak
peduli itu,
ingatanku
terlempar jauh ke masa silam,
guru olahraga sekolah dasar, seorang wanita, mengangkat tubuhku tinggi-tinggi agar ku dapat
menatap Habibie Ainun dari jarak berpuluh meter di belakang kerumunan orang
memadat penuhi
lapangan tengah kota ketika Habibie Ainun bertandang ke kota kecil kami.
kini, di
tengah antrian orang-orang, kebanyakan anak muda di bioskop modern, aku
terasing,
tersihir oleh
pesona kisah, berputar di antara dua anak manusia
aku terkenang
antrian BBM di SPBU, lambat, tapi semua tenang, hikmad resapi sepi
waktu merayap, lambat sekali…
dalam gedung,
sebuah cerita panjang puluhan tahun, jerman, bandung, jakarta dilipat dalam
kerlap alur yang dimampatkan
silih berganti
mencuri tatap mata dan telinga.
aku ingin bertanya,
kenapa pare pare tempat benih bertumbuh tak disinggung sedikitpun
oh pare pare,
industri film tak menganggapmu punya arti, tanah yang begitu dicintai oleh
Habibie
perih hati
ini,
waktu 1 jam
lebih, Habibie Ainun jadi topik yang tak tuntas, serupa buku yang kehilangan
lembaran lembaran penting.
penonton
pulang dengan mata berair, hanyut oleh sungai rindu yang mengalir ke teluk
cinta
si jenius dan
si gula pasir.
Habibie Ainun,
suci nian cinta itu….