Kamis, 09 April 2015

Tuangila

jalan ke puncakmu berlekuk seperti pinggul gadis muda,
mulus, memikat, begitu impresif
seruas aspal licin membelah hutan seakan sisir plastik ratakan rambut anak sekolah
di sisi kanan jurang sedalam tiga pohon kelapa bersusun

aku menepi, rapat pada sejuntai akar
di tengah sepinya hutan
setiap rasa tenggelam sudah
pada kabut melayang, kita belajar mencari tanda,
telah berapa masa pepohon menjulang ?
apakah selama humus masih suburkan tanah ?
atau sekuat petani membakar dupa, putihkan udara dengan lirih dan doa doa

oh tuangila
ada pesan kitab suci
tentang surga dengan sungai sungai yang mengalir di bawahnya
tentang bebuahan yang bisa kau petik semau inginmu

oh tuangila
di segar dinginnya jalan menujumu
ingatku satu saja, sekeping uang logam keluaran 1978
pada sebelah sisi tercetak : "hutan untuk kesejahteraan"
hutan dan uang koin ialah prasasti zaman
keduanya hendak melestari, abadi laksana kepurbaan candi tanah jawa

beratus tahun silam, di gelap birunya laut
tampak armada dagang asing,
boleh saja itu portugis, inggris atau voc belanda
jelas dari atas bukit hijau
tiang kapal layar melancip sebagai siluet, menyusur tepi tanah ini
sebuah tembakan meledak dari perut meriam, robek keheningan pagi

oh tuangila
aku mengenang tetua tanah butuni, kharisma siolimbona
dan segala parabela  dari negeri negeri keramat
berdiri penuh takzim dalam persaksian sumanga leluhur ;
di seputar batu popaua benteng keraton wolio
mereka melantik paduka sultan buton

oh tuangila
di hutan tropis ini, kagumku tak juga selesai

Kamis, 02 April 2015

pada tuangila

berapa kilometer sudah meluncur dari speedometer,
ban meroda di pipi aspal,
pada sepohon ingatan
hati kita tersegar kabut
meruap antara bukit asri, wakuli, tumada hingga todanga
berapa kilometer sudah
kita melupakan waktu, menanam detik pada bau hutan selepas hujan
jalan menanjak pada kehangatan tuangila
memahat sebentuk pengertian
tanah ini, bukit ini, telah tua oleh kerinduan, oleh kasih yang mengalir
setegak batang wola, jati, dan segala suara burung dari pekatnya lambusango
serupa suara daun bakau di bibir teluk kapontori
sepanjang sore di dermaga kapontori
seusai pagi dan siang,
angin dan ketulusan terus menjalar
pada sewajah musik, senyum dan seikat kenangan...